Undang-undang yang ditujukan untuk mengatur praktek daur ulang kapal, khususnya peraturan daur ulang kapal Uni Eropa dan Konvensi Hong Kong IMO, yang utamanya menggunakan batas wilayah hukum Negara bendera tidak akan mampu memecahkan permasalahan galangan penutuhan  di bawah standar tidak juga menegakkan prinsip denda bagi pemilik kapal yang menyebabkan pencemaran, demikian ditegaskan LSM Shipbreaking Platform.

LSM Shipbreaking Platform belum lama ini menerbitkan makalah ilmiah singkat berjudul “What a difference a flag makes – Why ship owners’ responsibility to ensure sustainable ship recycling needs to go beyond flag state jurisdiction”

Hasil analisis dari hubungan antara bendera kemudahan (FOCs), khususnya “bendera akhir masa pakai kapal” dan praktek galangan di bawah standar menunjukkan bahwa FOCs cenderung untuk merusak implementasi prinsip denda bagi pemilik kapal yang menyebabkan pencemaran dengan membuat para pemilik kapal mudah untuk mengelak dengan masuk kepada negara bendera yang bukan anggota atau tidak memenuhi persyaratan IMO. Kesimpulannya, makalah ilmiah singkat itu menegaskan bahwa diperlukan solusi segera untuk memastikan daur ulang kapal yang berkelanjutan harus melampaui batas wilayah hukum negara bendera untuk menutup celah yang disebabkan oleh sistem FOCs.

Menurut Shipbreaking Platform, sebagaian besar pemilik kapal menghindari peraturan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi khususnya negara berkembang dari limbah berbahaya yang ada dalam struktur kapal yang telah habis masa pakainya, dan karena itu tidak bertanggung jawab atas terjadinya praktek penutuhan kapal yang berbahaya dan mencemari lingkungan. Hanya sejumlah kecil perusahaan pemilik kapal yang telah secara sukarela mengambil tidakan untuk memastikan bahwa daur ulang kapal tuanya telah dilakukan dengan bersih dan aman.

Dengan alasan untuk mendapatkan keuntungan lebih, sebagian besar pemilik kapal menjual kapalnya yang telah habis masa pakainya itu dengan bantuan perantara yang membeli tunai, yang kemudian mengirimkannya ke galangan penutuhan yang minim infrastruktur yang disyaratkan dan tidak memiliki kondisi kerja yang aman.

Uni Eropa memiliki tanggung jawab khusus untuk memberikan solusi masalah penutuhan kapal ini karena sekitar 40 persen armada komersil dunia dimiliki oleh perusahaan Eropa dan sepertiga dari tonase yang ditutuh tiap tahunnya di galangan bawah standar di Asia Selatan dijual oleh perusahaan Eropa.

“Uni Eropa bersiko gagal memenuhi janjinya untuk membalik tren saat ini, yaitu para pemilik kapal Eropa bisa mendapat keuntungan dari penutuhan yang kotor dan berbahaya,” kata Patrizia Heidegger, Direktur Eksekutif LSM Shipbreaking Platform dalam suratnya kepada Komisioner Lingkungan Hidup Uni Eropa yang baru, Karmenu Vella.

“Kita dapat meminta Komisioner untuk membuat instrument yang akan berlaku melampaui wilayah hukum Negara bendera, seperti mekanisme finansial yang belum lama ini dibahas dan membuat insentif yang kuat bagi para pemilik kapal untuk memilih daur ulang kapal yang bersih dan aman,” tambah Patrizia. 

Berkaitan dengan penutuhan kapal ini, Pemerintah Indonesia dalam pasal 241 ayat 1 Undang-udang Pelayaran nomor 17 Tahun 2008 telah menetapkan bahwa penutuhan kapal wajib memenuhi persyaratan perlindungan maritim. Hal ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengadopsi Hong Kong International Convention for the Safe and Environmentally Sound Recycling of Ships IMO (Konvensi Hong Kong), yang diadopsi pada konferernsi diplomatik di Hong Kong, China, tanggal 11 - 15 Mei 2009.

Konvensi ini ditujukan untuk menjamin bahwa kapal, pada waktu di daur ulang setelah mencapai akhir masa operasinya, tidak membawa resiko yang tidak perlu bagi kesehatan manusia, keselamatan, dan lingkungan. **

 

Sumber: diolah dari www.worldmaritimenews.com/13-04-2015